Reader Comments

SEPITENG, SI SEPI YANG RAMAI DIPERBINCANGKAN

by Humberto Moss (2020-08-27)


"Sepiteng cocok standar ya pak," pinta aku didalam bhs yang lebih merakyat, tetapi nampaknya pak imam masjid tidak cukup tahu dalam mendengarnya.

"Hah?"

"Sepiteng pak, septic tank, tangki septik."

"Oh jangan khawatir, kerbau-teng pun sanggup diatur itu," ternyata pak imam masjid mencoba untuk bercanda, melanjutkan leluconnya terkait pembicaraan kami seputar pipa hawa. Dari empat orang yang datang membahas rehab WC umum, hanya kami berdua yang tertawa. Dalam hati saya menginginkan menimpali, "rame-teng terhitung jangan lupa diatur pak."

Sepiteng didalam Kata dan Interaksi

Perbincangan bersama dengan beberapa tukang lokal dan warga di daerah Kota Jakarta dan Kabupaten Sigi sejak dua tahun lantas membawa aku terhadap suatu anggapan berkenaan sepiteng. Sepiteng yang biasa kami dengar merujuk pada septic tank atau tangki septik, suatu teknologi pengolahan air limbah tempat tinggal tangga atau limbah domestik (air limbah kakus yang terdiri berasal dari tinja dan urin dan juga air limbah non kakus[1]). Pada pengaplikasiannya, sepiteng bisa merujuk terhadap dua teknologi sekaligus, yakni tangki septik beserta resapannya. Dalam bentuk yang lebih sederhana, cubluk kerap disimpulkan pula sebagai sepiteng. Lebih canggih lagi, sepiteng juga merujuk pada teknologi yang lebih kompleks dan besar kapasitasnya, yaitu IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) komunal. Sepiteng raksasa biasa warga menyebutnya, yang juga dikatakan terkecuali tangki septik yang dibangun diperuntukkan bagi lebih dari satu rumah.

Sepiteng bukanlah hal asing di telinga kita. Setidaknya tahun lalu, sepiteng sering menjadi bahan berita yang diangkat oleh banyak media. Berita sepiteng meledak dan Tanjung Duren mampu menjadi kaleidoskop di th. 2019. Kompas di dalam narasi yang berjudul Jakarta Bergelimang Tinja (2020) mengatakan bahwa kasus tinja di Ibu Kota tak dulu absen dari halaman koran sejak 1976 hingga empat dekade berikutnya. Sepiteng begitu lekat tak berbatas, di awali berasal dari tatanan masyarakat paling dasar, rekayasawan, peneliti, hingga kalangan elit di sektor pemerintahan. Kisah ada dan tiada serta dampak dominonya senantiasa menjadi perihal yang menarik diperbincangkan, tapi kala keoptimalan desain, anggaran, dan perawatan dipertanyakan, sepiteng seolah-olah menjadi rintangan bagi kebanyakan orang.

‘Minim’ adalah kata yang tepat untuk membuktikan hubungan pada penghuni rumah bersama sepiteng-nya. Interaksi yang berwujud operasional dan pemeliharaan sering terabaikan atau didefinisikan sebagai bentuk yang lain. Perkara sedot tinja sering jadi obrolan pembuka yang menarik selagi berbicara mengenai sepiteng dengan warga. Beberapa keluarga yang dulu aku temui terlebih di Jakarta tidak amat concern dengan sepiteng yang mereka memiliki sebab perihal sedot-menyedot-tinja ini yang nampaknya tidak benar kaprah. Semakin lama tidak disedot (lebih dari 5 th. sebagai periode standar maksimum ideal[2]), makin lama berhasil sepiteng yang dibangun dan nampaknya agak terlupakan kemudian, kecuali jika ditemukan rintangan seperti kloset mampet akibat sepiteng yang penuh atau jalurnya yang tersumbat.

Bentuk lain dari jalinan antara penghuni tempat tinggal bersama sepiteng-nya ditemukan di Kampung Tanah Rendah. Wawancara pernah ditunaikan oleh Ngebikin Bareng pada satu kelompok warga di RW 8 Kampung Tanah Rendah, Jakarta. Suatu tempat bantaran kali di mana warganya masih melakukan praktek BABS (Buang Air Besar Sembarangan) dengan rakit atau getek sebagai MCK lazim mereka. Dengan menyingkirkan tinja langsung ke kali pas hari terang, toilet di tempat tinggal cuma dibutuhkan saat malam sehingga sepiteng bisa lebih awet dan tidak cepat penuh.[3]

Rakit atau getek sebagai MCK lazim bagi warga di RW 08 Kampung Tanah Rendah, Jakarta, Minggu (18/11/18). Tanpa pengolahan, tinja maupun urin langsung masuk ke aliran Kali Ciliwung ini. Ngebikin Bareng/Gusmiati.

Sepiteng dalam Data, Menyelisik Kondisi Sanitasi Jakarta

Konon katanya peradaban di awali dan berkembang maju di selama sungai. Bersama sungai yang mengalir jernih, berkhayal betapa sejuknya manusia dan alam hidup berdampingan, tetapi realita sungai-sungai di Jakarta kini berbicara lain. Rumah-rumah enggan berdiri menghadap si kotor dan bau. Semakin berjarak rasanya manusia dengan sungai, walau tempat tinggal berada di bantaran kali. Pun mencoba berteman, ada banyak efek menunggu di sana, andaikata saja 72,7% pencemaran akibat limbah domestik (air mandi, cuci, dapur, urin, dan tinja).[4]

Berdasarkan data E-Monev STBM yang dikeluarkan oleh Kemenkes RI (per 17 Januari 2020) diketahui bahwa 95% penduduk DKI Jakarta telah memiliki akses sanitasi dan sebanyak 25 kelurahan telah terverifikasi ODF (Open Defecation Free) atau Stop BABS. Dari 11,93 juta jiwa penduduk DKI Jakarta, 535,62 ribu penduduk diantaranya tetap melaksanakan praktik BABS. Sebagaimana diatur di dalam Permenkes RI No. 3 Tahun 2014 perihal Sanitasi Total Berbasis Masyarakat, Stop BABS adalah suasana kala tiap tiap individu dalam suatu komunitas tidak ulang melakukan tabiat BABS yang berpotensi menyebarkan penyakit. Stop BABS dapat diwujudkan lewat kegiatan yang paling sedikit terdiri atas membudayakan tabiat membuang air besar yang dapat memutus rangkaian kontaminasi kotoran manusia sebagai sumber penyakit secara terus-menerus serta sediakan dan pelihara fasilitas membuang air besar yang memenuhi standar dan persyaratan kesehatan. Adapun sarana membuang air besar yang dimaksud juga cubluk dan tangki septik.

Lebih jauh berbicara tentang cubluk dan tangki septik, di dalam Permen PUPR No. 04/PRT/M/2017 perihal Penyelenggaraan Sistem Pengelolaan Air Limbah Domestik, cubluk didefinisikan sebagai unit pengolahan air limbah domestik (sistem setempat) yang paling sederhana. Terdiri atas lubang yang digali secara manual bersama dinding rembes air yang terbuat dari pasangan batu bata berongga. Cubluk berguna sebagai tempat pengendapan tinja sekaligus sarana peresapan berasal dari cairan yang masuk. Persyaratan tekhnis rencana cubluk diantaranya adalah: (1) kepadatan masyarakat <25 jiwa/hektar; (2) jarak minimum bersama dengan sumber air adalah 10 m; (3) ketinggian muka air tanah >2 m; (4) usia penggunaan 5-10 tahun; dan (5) berbentuk bujur sangkar atau silinder.

SNI 2398:2017 tentang Tata Cara Perencanaan Tangki Septik bersama dengan Pengolahan Lanjutan membatasi tangki septik sebagai ruang kedap air, terdiri berasal dari satu atau beberapa kompartemen yang bermanfaat menampung dan memproses air limbah tempat tinggal tangga. Kecepatan aliran yang lambat menyebabkan terjadinya pengendapan dan juga penguraian secara anaerobik yang membentuk bahan-bahan larut air dan juga gas. Persyaratan lazim untuk tangki septik diantaranya adalah: (1) ketersediaan lahan untuk tangki septik dan pengolahan lanjutan; (2) efluen (keluaran) berasal dari tangki septik dialirkan lewat pengolahan lanjutan yang sanggup bersifat proses penyaringan (up flow filter), bidang resapan, sumur resapan, atau taman sanita; dan juga (3) jarak minimum pengolahan kelanjutan terhadap sumur air bersih adalah 10 m untuk sumur atau bidang resapan dan 1,5 m untuk up flow filter atau taman sanita.

Kementerian PUPR mencatat bahwa terhadap th. 2018 kandungan service air limbah domestik bersama dengan sistem terpusat (perpipaan) di Jakarta baru menggapai angka 11% berasal dari total penduduk[5], selebihnya manfaatkan proses setempat atau lebih-lebih belum punya akses sanitasi serupa sekali. Meskipun kadar akses sanitasi sebesar 95%, tersedia kekhawatiran bahwa masih banyak warga Jakarta yang pakai cubluk atau tangki septik tidak sesuai standar, terhitung mengingat pada definisi STBM yang diberlakukan Kemenkes. Mengingat tingginya kepadatan masyarakat (158,04 jiwa/hektar pada th. 2018[6]) dan lahan terbatas di Jakarta, maka hal itu sanggup menimbulkan masalah baru dan kerelevanan penggunaan tangki septik untuk warga Jakarta pun wajib dipertanyakan kembali. Dengan begitu motivasi Stop BABS untuk memutus kontaminasi tinja sebagai sumber penyakit terwujud.

Praktik sanitasi yang tidak baik seperti sepiteng rembes, pembuangan secara langsung limbah non kakus ke got atau selokan, dan tak ada akses sanitasi kenyataannya tetap sangat ringan dijumpai di Ibu Kota. Efek domino yang berlangsung salah satunya adalah pencemaran air. Lewat parameter keseluruhan coliform yang menjadi indikasi bahwa air tercemar tinja, pencemaran air di Jakarta sudah menembus angka 10.000 dari batas normal 3.000 jml/100 mL air (Permen LHK No. P.68/Menlhk-Setjen/2016 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik).[7]

Lebih detail, BPLHD Provinsi DKI Jakarta (2015) mengatakan bahwa pencemaran air tanah Jakarta didominasi oleh pencemar mangan, besi, organik, bakteri coliform, dan bakteri tinja. Tingginya konsentrasi pencemar-pencemar selanjutnya mengindikasikan bahwa masih banyak air tanah di Jakarta yang tercemar limbah domestik dan tangki septik. Berdasarkan penelitian yang telah ditunaikan dua kali di bermacam titik sampel terhadap 197 kelurahan di Jakarta, angka pencemaran coliform terhadap air tanah di Jakarta berada terhadap rentang 0-18.300 jml/100 mL untuk Jakarta Pusat, 0-370.000 jml/100 mL untuk Jakarta Utara, 0-24.500 jml/100 mL untuk Jakarta Timur, 0-99.000 jml/100 mL untuk Jakarta Barat, dan 0-10.900 jml/100 mL untuk Jakarta Selatan. Sementara untuk bakteri tinja berada pada rentang 0-4.300 jml/100 mL untuk Jakarta Pusat, 0-160.000 jml/100 mL untuk Jakarta Utara, 0-9.600 jml/100 mL untuk Jakarta Timur, 0-2.400 jml/100 mL untuk Jakarta Barat, dan 0-1.700 jml/100 mL untuk Jakarta Selatan.

Mengeliminasi knowledge pencilan, didapat rentang rata-rata 0-17.900 jml/100 mL untuk pencemar coliform dan 0-2.800 jml/100 mL untuk pencemar bakteri tinja. Meskipun demikian, angka pemanfaatan air tanah di Jakarta perlihatkan peningkatannya hingga th. 2019[8] dan ketergantungan warga pada air tanah sebagai sumber air minum tetap tinggi, meskipun persentasenya masih berada di bawah pemanfaatan air kemasan yang mendominasi sumber air minum[9].

Imbas lainnya berasal dari sanitasi buruk ini adalah terjadinya waterborne diseases. WHO (2015) mendeskripsikan waterborne diseases sebagai penyakit yang ditularkan lewat konsumsi air terkontaminasi, seperti diare, kolera, tifus, infeksi shigella, hepatitis A dan B, serta polio. Resiko stunting pun dapat terlihat mengingat diare membawa dampak nutrisi di dalam tubuh terkuras melalui membuang air yang berkala.[10] Berdasarkan profil kesegaran DKI Jakarta, angka diare menyatakan fluktuatifnya termasuk th. 2014-2018, berada didalam rentang 2,1 juta (2014) hingga 278,7 ribu jiwa (2018) dari populasi penduduk Jakarta.

"Saya baik-baik aja kok, gak sakit tuh selama ini," tutur salah satu warga di dalam rembuk rencana pembangunan IPAL komunal yang saya hadiri di tahun 2018 lalu. Rembuk itu dijalankan di suatu wilayah bantaran kali di Jakarta Timur. Warga disana tetap jalankan praktek yang tergolong BABS meskipun punya toilet pribadi. Pernyataan itu sesudah itu mengakibatkan pro-kontra, diamini oleh beberapa warga yang menunjang penolakan IPAL komunal di wilayahnya. Diskusi terpanas bagi saya yang terbilang masih seumur jagung berkecimpung di dunia sanitasi.

Saya yakin, terkecuali suasana ini konsisten dibiarkan, maka KLB (Kejadian Luar Biasa) pada penyakit yang ditimbulkan oleh sanitasi tidak baik bukanlah hal yang mengagetkan kedepannya. Dalam diskusi tadi, tak sedikit pula warga yang membela. "Saya gak sakit, namun saya memahami tingkah laku (sanitasi) kita gak baik dan saya rela menambahkan lingkungan yang bersih buat anak-anak dan cucu-cucu saya kedepannya, aku senang berubah, tolong jangan menghalangi niat baik ini," ucap seorang bapak yang kemudian saya mengerti beliau adalah Sekretaris RT disana. Pernyataan itu sesudah itu jadi pemantik motivasi untuk mewujudkan pembangunan IPAL komunal, tetapi kendala-kendala seperti ketersediaan lahan, membangun pemahaman warga, birokrasi lintas sektoral, dan manajemen program jadi tantangan yang terlalu besar lebih-lebih di Ibu Kota untuk menciptakan pembangunan sanitasi berbasis masyarakat.

Air itu dingin, namun panas.

Nampaknya ungkapan tersebut juga berlaku untuk persoalan air limbah domestik di Jakarta.

If you loved this informative article and you wish to receive more info with regards to Perusahaan kontraktor wwtp kindly visit the webpage.